SARI BUMI KUSUMA

  • Increase font size
  • Default font size
  • Decrease font size
Home Penerapan Perlakuan Silvikultur untuk Mendukung Rehabilitasi Areal Bekas Tebangan di Kawasan Hutan Hujan Tropis Propinsi Kalimantan Tengah

Penerapan Perlakuan Silvikultur untuk Mendukung Rehabilitasi Areal Bekas Tebangan di Kawasan Hutan Hujan Tropis Propinsi Kalimantan Tengah

Penerapan Perlakuan Silvikultur

untuk Mendukung Rehabilitasi Areal Bekas Tebangan

di Kawasan Hutan Hujan Tropis Propinsi Kalimantan Tengah

Widiyatno, Na’iem Moh, Kanzaki Mamoru, Purnomo Susilo, Jatmoko

J-SustaiN Vol. 1, No. 2 (2013) 50-55 51

 

1. Pendahuluan

Indonesia memiliki 24% dari total luas hutan hujan tropis dunia dan luas tersebut adalah terbesar kedua di dunia.  Sementara itu, di tingkat Asia Tenggara, areal hutan tropis Indonesia mencapai proporsi 48%.

Salah satu famili pohon utama yang tumbuh di hutan hujan tropis di Indonesia adalah Dipterocarpaceae. Dipterocarpaceae termasuk famili penting karena memiliki beberapa jenis pohon penghasil produk kayu.

Pada saat ini, masalah utama yang dihadapi hutan hujan tropis Indonesia adalah proses deforestasi dan degradasi yang disebabkan alih fungsi lahan menjadi hutan tanaman, illegal logging dan penggunaan lahan lainnya untuk perkebunan sawit, pertambangan dll. Rata-rata tingkat degradasi hutan di Indonesia mencapai 498.000 ha per tahun (2000-2010).

 

Akibat deforestasi dan degradasi hutan tersebut adalah penurunan keanekaragaman spesies dan level genetik. Selain itu, juga hilangnya penyerapan karbon, penurunan fungsi hidrologi dan berkurangnya hasil hutan non kayu.

Di Indonesia, pengelolaan hutan hujan tropis dilakukan dengan dua sistem silvikultur, yaitu TPTI dan TPTJ. Dalam sistem TPTJ, batas diameter pohon yang ditebang adalah 40 cm ke atas dengan rotasi penebangan selama 30 tahun.

Sebagian besar kawasan hutan hujan tropis di Indonesia saat ini telah berubah menjadi areal bekas tebangan (Logged Over Area).

Kegiatan enrichment planting dilaksanakan dengan penanaman dalam jalur  selebar 3 meter dengan jumlah bibit yang ditanam 100-200 batang per hektar.

Ini yang membedakan dengan TPTI, karena enrichment planting hanya dilakukan jika tegakan tinggal dari permudaan alam jumlahnya kurang. Meski tegakan tinggal tersebut memiliki spesies yang beraneka ragam, namun pertumbuhan jenis-jenis yang tergolong famili Dipterocarpaceae tersebut lambat, karena kurangnya akses mendapat cahaya matahari.

Dalam laporan lainnya disebutkan bahwa peningkatan intensitas pemanenan mengakibatkan terbukanya tajuk hutan yang lebar dan masuknya jenis-jenis invasif. Selain itu, intensitas pemanenan yang tinggi juga mengakibatkan rendahnya kepadatan jenis-jenis komersil dibandingkan dengan jenis non komersil.

Pertumbuhan  riap diameter rata-rata tahunan pohon alam di hutan hujan tropis adalah 0,22 cm per tahun, sedangkan untuk jenis Dipterocarpaceae 0,34-0,40 cm per tahun. Dalam salah satu penelitian disebutkan bahwa 2-4 tahun setelah penebangan, riap diameter rata-rata per tahun tegakan secara keseluruhan menurun menjadi 0,18 cm dan untuk jenis Dipterocarpaceae juga turun menjadi 0,29 cm.

Data tersebut menandakan bahwa riap stok kayu di areal bekas tebangan tidak mencukupi untuk mencapai kelestarian produksi dalam jangka waktu 30 tahun, jika tidak dilakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas dan regenerasi.

Salah satu teknik untuk meningkatkan produktivitas areal bekas tebangan dan stok pohon komersil adalah perlakukan enrichment planting menggunakan spesies asli yang bernilai komersial, seperti jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae.

Enrichment planting di areal hutan hujan tropis memiliki dua manfaat, yaitu peningkatan kelestarian produksi kayu dan upaya pelestarian spesies Dipterocarp.

Berkaitan dengan hal tersebut, kegiatan penelitian ini difokuskan pada pengembangan teknik silvikultur untuk meningkatkan produktivitas dan rata-rata persen hidup jenis-jenis Shorea.

Tujuan penelitian adalah untuk menguji perlakukan jarak tanam, dosis pupuk dan pemilihan spesies terbaik untuk mendukung penanaman Dipterocarp dalam skala luas dan merehabilitasi areal bekas tebangan di kawasan hutan hujan tropis.

2. Metode

a) Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di areal IUPHHK-HA PT SBK Katingan Seruyan Kalimantan Tengah yang menggunakan sistem silvikultur TPTI dan TPTJ. Tipe iklim menurut klasifikasi Schmit dan Ferguson adalah tipe A dengan rata-rata curah hujan tahunan 3.730 mm dan jumlah hari hujan bervariasi antara 95 - 112 hari.

b) Koleksi Biji

Biji lima jenis Dipterocarpaceae, yaitu Shorea leprosula, S.platyclados, S.parvifolia, S.virescens and S.johorensis dikoleksi selama masa pembungaan mulai Januari-Pebruari 2005 di seluruh areal konsesi. Biji yang telah terkumpul selanjutnya dikecambahkan dan dipelihara selama 8-12 bulan di persemaian.

c) Penyiapan Lahan dan Penanaman

Percobaan dilaksanakan di areal bekas tebangan seluas 5,7 ha. Pembukaan rumpang (gap) dilakukan dari bulan Januari hingga Maret 2006. Penyiapan lahan dilakukan dengan menebang habis tegakan untuk memastikan semua perlakuan mendapatkan kondisi iklim mikro dan cahaya yang sama serta untuk mengendalikan vegetasi penyaing.

Selanjutnya dilakukan pembuatan lubang tanam berukuran 40 x 40 x 30 cm. Penyiapan lahan dan penanaman dilakukan pada bulan Pebruari hingga April 2006.

d) Rancangan Penelitian

Plot percobaan menggunakan rancangan split-split plot dengan empat ulangan. Plot utama dua level jarak tanam : 6x2 m dan 6x4 m. Subplot adalah dua level dosis pupuk NPK dalam lubang tanam, yaitu : 0 dan 100 gram per pohon. Sub-sub plot adalah lima spesies genus Shorea: Shorea leprosula, S.platyclados, S.parvifolia, S.virescens dan S.johorensis. Masing-masing sub-sub plot terdiri atas 30 tanaman.

Pertumbuhan dimonitor terhadap 8 pohon dalam plot dan tidak termasuk 22 pohon batas setiap 6 dan 12 bulan sekali. Total tinggi dan diameter setinggi dada diukur. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA menggunakan software SAS 9.0.

 

3. Hasil penelitian

a) Rata-rata Persen Hidup

Rata-rata persen kematian jenis Dipterocarp tinggi pada tahun pertama dan menurun hingga tahun ketiga. Pada umur 6,5 tahun, rata-rata persen hidup  S.johorensis, S. leprosula, S.parvifolia, S.platyclados, dan  S.virescens adalah 86,7%, 84,4%, 72,9%, 65% dan 55,5%.

Rata-rata persen hidup jenis S. leprosula umur 2 tahun di Kalimantan Selatan dan 3 tahun di Kalimantan Timur dilaporkan 60% dan 74%. Sementara itu, rata-rata persen hidup S.johorensis dan S.parvifolia umur 2 tahun dalam uji spesies di Kintap Kalimantan Selatan adalah 51% dan 48%.

Dibandingkan dengan laporan tersebut, rata-rata persen hidup dalam penelitian ini lebih tinggi.

b) Pertumbuhan Diameter dan Tinggi Pohon

Hasil analisis statistik menggunakan ANOVA menunjukkan pengaruh yang signifikan jarak tanam dan dosis pupuk  terhadap diameter dan tinggi.

c) Pengaruh Jenis

Pada umur 6,5 tahun, jenis S. leprosula menunjukkan pertumbuhan terbaik dari sisi diameter dan tinggi dengan riap mencapai 2,2 cm per tahun dan 1,32 m per tahun.

d) Perspektif Penanaman Jalur untuk Enrichment Planting

Kegiatan pengayaan areal bekas tebangan di Indonesia menggunakan penanaman jalur telah dimulai sejak tahun 1997. Kegiatan tersebut  dalam metode silvikultur lebih dikenal dengan istilah TPTJ. Dalam metode ini jalur-jalur tanaman selebar 3 m dibuat dengan interval 20 m. Jenis-jenis Shorea ditanam dengan jarak tanam dalam jalur  2,5 atau 5 m.

Keterbukaan jalur tanaman luasnya kurang dari 15% luas areal. Di dalam jalur selebar 3 meter tersebut ditanam jenis Dipterocarp. Jenis-jenis dilindungi yang berada dalam jalur tersebut seperti ulin, jelutung, sindur dan tengkawang  tidak ditebang.

Pada awal penanaman, kegiatan TPTJ dapat menyebabkan pemadatan tanah dan penurunan kapasitas infiltrasi. Namun demikian, setelah 10 tahun, infiltrasi tersebut hampir mendekati hutan primer.

Bagi pertumbuhan tanaman, pembukaan jalur tanam akan meningkatkan ketersediaan cahaya di lantai hutan dimana jenis Shorea tersebut tumbuh. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan rata-rata persen hidup dan pertumbuhan jenis dipterocarp yang ditanam.

Berdasarkan uji performance pertumbuhan dan daya hidup, S. johorensis, S. leprosula, S. parvifolia menunjukkan hasil yang terbaik di areal terbuka. Spesies tersebut dapat direkomendasikan sebagai spesies utama untuk rehabilitasi hutan hujan tropis, karena memiliki kebutuhan cahaya yang lebih banyak, toleransi tinggi terhadap kondisi areal terbuka dan punya potensi ditanam di areal bekas tebangan yang terdegradasi.

  1. 4. Kesimpulan

Agar mendapatkan keberhasilan penanaman Dipterocarpaceae dalam skala luas di kawasan hutan hujan tropis sekunder, pemilihan jenis yang memiliki rata-rata persen hidup tinggi dan pertumbuhan yang baik penting dilakukan.

Di Indonesia, S. johorensis, S. leprosula, S. parvifolia dipilih sebagai spesies asli untuk merehabilitasi areal bekas tebangan di kawasan hutan hujan tropis. Hal tersebut karena pertumbuhan diameter dan tinggi yang mencapai lebih dari 2 cm dan 1 m per tahun. Selain itu, rata-rata persen hidupnya lebih dari 70%.

Di sisi lain, dengan melakukan teknik silvikultur berupa kombinasi pupuk NPK dengan dosis 100 gram dan jarak tanam 6 x 2 m,  ternyata menunjukkan perlakuan yang terbaik untuk memperbaiki pertumbuhan jenis Dipterocarp yang telah dipilih. (hendros)

 

 

Sumber :

International Journal

Sustainable Future for Human Security

J-SustaiN Vol 1. No.2 (2013) 50-55

http://www.j-sustain.com

Last Updated on Friday, 25 October 2013 13:05  
Yakinlah bahwa keputusan anda hari ini akan berpengaruh terhadap apa yang akan anda alami dimasa datang.